Agribisnis Perbenihan
Beranda » Agribisnis » Kritik Terhadap Proses Adopsi Inovasi: Ketidaksempurnaan dan Kenyataan di Lapangan

Kritik Terhadap Proses Adopsi Inovasi: Ketidaksempurnaan dan Kenyataan di Lapangan

Accumini.com – Kritik Terhadap Proses Adopsi Inovasi: Ketidaksempurnaan dan Kenyataan di Lapangan. Dalam teori difusi inovasi, proses adopsi sering kali digambarkan sebagai suatu rangkaian yang sistematis dan linier. Namun, kenyataan di lapangan tidak selalu demikian. Everett M. Rogers, seorang ahli komunikasi dan sosiologi, mengemukakan bahwa proses adopsi tidak selalu berjalan mulus atau sesuai tahap-tahap ideal yang telah dirumuskan. Pengalaman petani, efektivitas inovasi yang diterima, hingga perubahan keputusan di tengah jalan merupakan beberapa hal yang membuat proses adopsi menjadi dinamis dan kompleks.

Pertama, proses adopsi tidak selalu berakhir pada tahap adopsi itu sendiri. Dalam banyak kasus, seseorang yang telah mengenal bahkan mencoba suatu inovasi, bisa saja memutuskan untuk tidak melanjutkan adopsi jika hasilnya tidak sesuai harapan. Contohnya adalah ketika seorang petani mencoba pestisida baru yang ternyata tidak seefektif yang dijanjikan dalam iklan, sehingga ia kembali menggunakan produk sebelumnya.

Kedua, tidak semua orang melalui lima tahap proses adopsi secara lengkap. Ada pula individu yang langsung mengambil keputusan untuk mengadopsi inovasi hanya berdasarkan informasi dari media massa tanpa proses evaluasi panjang. Sebagai contoh, seorang petani bisa langsung membeli truk baru untuk mengangkut hasil panen setelah melihat iklan, karena merasa yakin akan manfaatnya tanpa perlu mencoba terlebih dahulu.

Baca Juga  Peran Strategis Kelompok Sosial dalam Mendorong Adopsi dan Difusi Inovasi

Ketiga, adopsi tidak selalu bersifat permanen. Seseorang yang sudah mengadopsi inovasi bisa saja kemudian meninggalkannya untuk inovasi lain yang dianggap lebih menguntungkan. Misalnya, petani yang semula menggunakan benih jagung varietas X dapat beralih ke varietas Y ketika diperkenalkan inovasi baru yang lebih produktif, bahkan tanpa melalui uji coba terbatas terlebih dahulu.

Melalui kritik tersebut, Rogers tetap mengakui bahwa tahapan-tahapan adopsi—pengenalan, persuasi, keputusan, dan konfirmasi—masih relevan sebagai kerangka dasar. Namun, dalam praktiknya, setiap tahap tidak selalu dijalani secara berurutan atau sempurna. Agen pembaharu atau penyuluh pertanian perlu memahami dinamika ini agar strategi komunikasi inovasi dapat disesuaikan dengan kondisi nyata masyarakat, termasuk fleksibilitas dalam pendekatan dan penguatan pada proses evaluasi serta umpan balik.

Proses adopsi inovasi pada kenyataannya bukanlah suatu sistem yang kaku. Banyak faktor memengaruhi, mulai dari pengalaman pribadi, pengaruh sosial, efektivitas inovasi itu sendiri, hingga dinamika pasar. Oleh karena itu, penting bagi pihak yang terlibat dalam diseminasi inovasi untuk menyadari bahwa perubahan sikap dan keputusan masyarakat bersifat kompleks dan tidak selalu dapat diprediksi. Fleksibilitas, empati, dan strategi komunikasi yang adaptif menjadi kunci agar proses adopsi dapat berjalan lebih efektif dan berkelanjutan.

Scroll to Top