Accumini.com –  Persyaratan dan Mekanisme Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit Sesuai Permen Pertanian Nomor 05 Tahun 2025. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian kembali mempertegas komitmennya dalam mendukung peremajaan perkebunan kelapa sawit rakyat. Hal ini dituangkan secara terperinci dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2025 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.
Dalam Bab IV regulasi ini, pemerintah menetapkan ketentuan terkait persyaratan, kelembagaan pekebun, legalitas lahan, kriteria dan teknik peremajaan, hingga dokumen pengusulan peremajaan kelapa sawit. Ketentuan tersebut berlaku untuk pekebun rakyat sebagai sasaran utama program peremajaan kelapa sawit (PSR).
Persyaratan Peremajaan Sawit (Pasal 36)
Contents
Dalam Pasal 36, dijelaskan bahwa peremajaan perkebunan kelapa sawit hanya dapat dilakukan di atas lahan yang memenuhi dua persyaratan utama:
-
Petani tergabung dalam kelembagaan pekebun, seperti kelompok tani (poktan), gabungan kelompok tani (gapoktan), koperasi, atau kelembagaan lainnya yang sah.
-
Memiliki legalitas lahan, yang dapat dibuktikan secara hukum.
Pemerintah juga menetapkan batasan maksimal luasan lahan yang bisa diikutsertakan dalam program peremajaan, yaitu sebanyak 4 hektare per orang.
Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan program PSR menyasar pekebun rakyat secara adil dan tepat sasaran, serta tidak dimanfaatkan oleh pelaku usaha besar.
Kelembagaan Pekebun dan Legalitas Lahan (Pasal 37–38)
Kelembagaan Pekebun (Pasal 37)
Pemerintah menekankan bahwa pekebun yang ingin mengikuti program peremajaan harus tergabung dalam kelembagaan resmi. Kelembagaan tersebut dapat berupa:
-
Kelompok Tani (Poktan)
-
Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)
-
Koperasi
-
Kelembagaan pekebun lainnya yang diakui
Adapun syarat kelembagaan tersebut antara lain:
-
Beranggotakan minimal 20 pekebun, atau
-
Memiliki hamparan kebun minimal 50 hektare dengan jarak antar kebun maksimal 10 kilometer.
Selain itu, Poktan dan Gapoktan wajib terdaftar dalam sistem informasi penyuluhan pertanian sebagai bagian dari legalitas dan tata kelola data pekebun.
Legalitas Lahan (Pasal 38)
Legalitas lahan menjadi aspek krusial dalam peremajaan kebun sawit. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 38 antara lain:
1. Dokumen Penguasaan Tanah
-
Dibuktikan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM).
-
Jika belum memiliki SHM, pekebun dapat menggunakan surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah atau dokumen lain yang sah menurut peraturan perundang-undangan agraria.
-
Bila nama dalam dokumen berbeda dengan identitas pekebun, harus dilengkapi dengan surat keterangan dari kepala desa.
2. Status Lahan
-
Bukan kawasan hutan, dibuktikan dengan keterangan dari unit kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
-
Bukan tanah Hak Guna Usaha (HGU), dibuktikan dari kantor pertanahan setempat.
Keharusan akan kejelasan status lahan dimaksudkan untuk menghindari konflik agraria, tumpang tindih klaim, dan memastikan keberlanjutan program peremajaan.
Kriteria Peremajaan Sawit (Pasal 39)
Untuk memastikan efektivitas dan efisiensi program, pemerintah menetapkan tiga kriteria utama lahan yang dapat diajukan untuk program peremajaan:
1. Tanaman Tua
Kebun yang berisikan tanaman sawit yang telah berusia lebih dari 25 tahun. Umur tua tanaman sawit identik dengan penurunan produktivitas.
2. Produktivitas Rendah
Kebun sawit dengan produktivitas kurang dari atau sama dengan 10 ton TBS/hektare/tahun pada umur minimal 7 tahun, masuk dalam sasaran prioritas program. Ini berarti walau masih relatif muda, jika hasil panennya rendah, kebun tersebut layak diremajakan.
3. Benih Tidak Unggul
Peremajaan juga menyasar kebun yang ditanam dengan bibit sawit tidak bersertifikat atau benih palsu. Hal ini penting untuk meningkatkan mutu genetik tanaman ke depan.
Kriteria-kriteria tersebut harus dibuktikan melalui pernyataan resmi yang dibuat oleh kelembagaan pekebun, seperti Poktan, Gapoktan, koperasi, atau lembaga lainnya yang sah.
Strategi Peremajaan yang Terarah
Peraturan ini menunjukkan adanya pendekatan strategis dan selektif dalam program peremajaan sawit rakyat. Pemerintah tidak hanya melihat pada sisi teknis pertanian, tetapi juga memastikan dari sisi legalitas, kelembagaan, dan keterpaduan wilayah antarpetani.
Hal ini menjadi penting karena salah satu kendala utama dalam pelaksanaan program PSR sebelumnya adalah persoalan legalitas lahan dan fragmentasi kepemilikan yang menyulitkan pengelolaan dan koordinasi.
Dengan pendekatan baru ini, program peremajaan diharapkan:
-
Lebih terpadu secara administratif,
-
Memiliki dampak ekonomi yang signifikan, dan
-
Menyasar pekebun kecil secara merata dan berkeadilan.
Tantangan Implementasi di Lapangan
Meskipun aturan sudah sangat jelas dan rinci, tantangan implementasi di lapangan tidaklah ringan. Beberapa kendala yang masih sering ditemukan di antaranya:
-
Banyak pekebun belum tergabung dalam kelembagaan resmi.
-
Masih minimnya kepemilikan SHM, terutama di kawasan luar Jawa.
-
Pengetahuan pekebun terkait status hukum lahan masih rendah.
-
Kurangnya tenaga pendamping lapangan yang memahami aturan teknis dan prosedural.
Oleh karena itu, perlu adanya sinergi lintas sektor, mulai dari Dinas Perkebunan daerah, BPN, Kementerian ATR, hingga penyuluh pertanian dan pemerintah desa untuk mempercepat proses validasi dan pendampingan kepada petani sawit rakyat.
Penutup: Menuju Sawit Rakyat yang Produktif dan Berkelanjutan
Peremajaan perkebunan kelapa sawit bukan hanya soal mengganti tanaman tua dengan tanaman baru. Lebih dari itu, program ini menjadi langkah strategis untuk memperkuat posisi pekebun kecil dalam rantai pasok sawit nasional.
Dengan hadirnya Permentan Nomor 05 Tahun 2025, pemerintah memberikan arah yang jelas, sistematis, dan terukur terhadap seluruh proses peremajaan, mulai dari persyaratan, legalitas, kelembagaan, hingga kriteria teknis.
Jika seluruh pemangku kepentingan bergerak bersama, maka program ini tidak hanya akan meningkatkan produktivitas nasional, tetapi juga menjamin keberlanjutan industri sawit Indonesia ke depan, baik dari sisi sosial, ekonomi, maupun lingkungan.