Accumini.com –  Tata Cara Pelaksanaan Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit Berdasarkan Permen Pertanian No. 05 Tahun 2025. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permen) Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2025 terus memperkuat upaya peremajaan perkebunan kelapa sawit (PSR) yang berkelanjutan. Dalam regulasi tersebut, khususnya Pasal 48 dan 49, dijabarkan secara detail mengenai tata cara pelaksanaan peremajaan, peran kelembagaan pekebun, serta skema kerja sama antara petani dengan perusahaan perkebunan guna menjamin kesinambungan usaha.
Dana sebagai Syarat Awal Pelaksanaan
Contents
Berdasarkan Pasal 48 ayat (1), pelaksanaan peremajaan hanya dapat dimulai setelah dana diterima oleh kelembagaan pekebun yang terdiri dari Kelompok Tani (Poktan), Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Koperasi, atau kelembagaan pekebun lainnya.
Dana tersebut merupakan dukungan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) atau sumber pembiayaan lainnya yang sah, yang dialokasikan khusus untuk mendukung regenerasi kebun sawit milik pekebun rakyat. Dengan adanya kucuran dana ini, pelaksanaan PSR dapat dilakukan secara lebih sistematis dan terencana.
Siapa yang Melaksanakan Peremajaan?
Pasal 48 ayat (2) menjabarkan tiga skema pelaksanaan peremajaan yang bisa dipilih oleh kelembagaan pekebun:
-
Dilaksanakan secara mandiri oleh kelembagaan pekebun, yakni Poktan, Gapoktan, Koperasi atau bentuk lainnya. Dalam skema ini, kelembagaan bertanggung jawab langsung terhadap seluruh proses peremajaan mulai dari pembibitan, penanaman, hingga pemeliharaan awal.
-
Kerja sama antara kelembagaan pekebun dan mitra kerja, yakni perusahaan yang memiliki keahlian dan fasilitas pendukung kegiatan peremajaan. Skema ini memberi kelembagaan fleksibilitas dalam hal teknis dan manajerial.
-
Dilaksanakan sepenuhnya oleh mitra kerja, dalam hal ini adalah Perusahaan Perkebunan yang ditunjuk atau disepakati melalui perjanjian kerja sama yang sah.
Model-model pelaksanaan ini memberikan keleluasaan kepada pekebun untuk memilih pendekatan yang paling sesuai dengan kapasitas kelembagaannya, sambil tetap menjaga efisiensi dan keberhasilan program peremajaan.
Mitra Kerja: Perusahaan Perkebunan sebagai Pelaksana
Dalam ketentuan ayat (3) Pasal 48, disebutkan secara tegas bahwa mitra kerja yang dapat dilibatkan dalam pelaksanaan peremajaan adalah Perusahaan Perkebunan. Keikutsertaan pihak swasta ini bertujuan untuk menjamin kualitas dan keberlangsungan program PSR yang dijalankan.
Perusahaan perkebunan yang bertindak sebagai mitra kerja umumnya telah memiliki pengalaman, sumber daya, serta infrastruktur teknis yang mumpuni, termasuk kemampuan dalam manajemen agribisnis sawit, penyediaan benih unggul, hingga pelatihan petani.
Kerja Sama sebagai Kunci Keberlanjutan Usaha Sawit
Selanjutnya, Pasal 49 mengatur mengenai mekanisme kerja sama kelembagaan pekebun dengan perusahaan perkebunan. Tujuannya adalah untuk menciptakan jaminan keberlangsungan usaha kebun sawit rakyat pasca-peremajaan.
Bentuk Kerja Sama Formal
Pada ayat (1) Pasal 49, disebutkan bahwa kerja sama antara kelembagaan pekebun dan perusahaan perkebunan harus disusun dalam bentuk perjanjian resmi. Perjanjian ini berfungsi sebagai dasar hukum atas hubungan kerja yang terjadi antara kedua belah pihak.
Perjanjian harus diketahui oleh bupati atau wali kota, atau oleh Kepala Dinas daerah kabupaten/kota atas nama kepala daerah. Pengawasan oleh pemerintah daerah ini penting untuk menjamin keterbukaan, keadilan, dan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku.
Isi Minimal Perjanjian Kerja Sama
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 49 ayat (3), perjanjian kerja sama harus mencakup paling sedikit empat aspek utama, yaitu:
-
Ruang lingkup kerja sama: termasuk kegiatan apa saja yang akan dilakukan oleh perusahaan dan oleh kelembagaan pekebun.
-
Jangka waktu perjanjian: berapa lama kerja sama akan berlangsung, baik selama proses peremajaan maupun setelah kebun masuk masa produksi.
-
Pembiayaan: mencakup pembagian tanggung jawab finansial, baik yang berasal dari bantuan pemerintah, investasi perusahaan, atau swadaya pekebun.
-
Hak dan kewajiban masing-masing pihak: termasuk jaminan harga, pelatihan, bantuan teknis, hingga sistem bagi hasil jika diterapkan.
Penting dicatat bahwa perjanjian ini wajib dipenuhi paling lambat ketika kebun sawit memasuki masa produksi, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 49 ayat (4). Artinya, sejak awal program peremajaan berjalan, para pihak harus mulai menyusun dan menyepakati kontrak kerja sama agar tidak terjadi penundaan yang bisa merugikan petani.
Mengapa Skema Kerja Sama Ini Penting?
Model kerja sama antara kelembagaan pekebun dan perusahaan perkebunan bukan hanya bersifat administratif, namun memiliki implikasi strategis terhadap masa depan industri sawit rakyat.
Beberapa manfaat penting dari model kerja sama ini antara lain:
-
Peningkatan produktivitas: Pekebun mendapatkan akses ke teknologi, benih unggul, dan pendampingan dari perusahaan.
-
Kepastian pasar: Adanya kontrak dengan perusahaan mitra memberi jaminan pembelian hasil sawit setelah panen.
-
Penguatan kelembagaan pekebun: Koperasi atau Gapoktan akan lebih profesional dan mampu mengelola usahanya secara mandiri di masa depan.
-
Mitigasi risiko: Dengan peran perusahaan sebagai pendamping atau pelaksana, risiko kegagalan peremajaan bisa diminimalkan.
Kendala yang Harus Diantisipasi
Meskipun skema pelaksanaan dan kerja sama sudah diatur dengan jelas, implementasi di lapangan masih menghadapi sejumlah tantangan seperti:
-
Kurangnya pemahaman kelembagaan pekebun terhadap prosedur teknis dan administratif pelaksanaan PSR.
-
Keterbatasan kapasitas kelembagaan pekebun untuk mengelola dana dan menyusun perjanjian kerja sama.
-
Kecurigaan atau ketidakseimbangan relasi antara pekebun dan perusahaan mitra, yang bisa berujung pada perjanjian yang tidak adil.
-
Pengawasan dari pemerintah daerah yang belum optimal, baik dari aspek persetujuan perjanjian maupun pengawasan pelaksanaan.
Oleh karena itu, dibutuhkan peran aktif Dinas Pertanian Kabupaten/Kota serta BPDPKS dalam mendampingi kelembagaan pekebun, sejak proses awal hingga masa pasca-produksi.
Kesimpulan
Pasal 48 dan 49 dari Permen Pertanian Nomor 05 Tahun 2025 menjadi kerangka penting dalam mengatur pelaksanaan peremajaan kelapa sawit oleh petani rakyat. Penegasan mengenai syarat dana, pelaksana kegiatan, serta mekanisme kerja sama dengan perusahaan perkebunan menunjukkan arah kebijakan pemerintah yang mendorong kolaborasi dan profesionalisme dalam pengelolaan perkebunan sawit rakyat.
Melalui pelaksanaan peremajaan yang tepat sasaran dan pengelolaan kerja sama yang adil, program PSR diharapkan mampu meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan keberlanjutan usaha bagi para pekebun kelapa sawit di seluruh Indonesia.